Monday, May 18, 2009

Teknologi Kendaraan Hemat Emisi


Untuk mendukung penyelenggaraan Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Bali, akhir tahun lalu, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia menggelar "Clean Air Road Show 2007" yang diikuti sekitar 20 kendaraan dari beberapa pabrikan mobil di Indonesia. Ajang road show tersebut sekaligus untuk membuktikan kemampuan Toyota Prius, mobil hibrida yang menggabungkan mesin pembakaran dalam yang menggunakan pertamax plus sebagai bahan bakar dengan motor listrik yang mendapatkan tenaga dari baterai, menjalani rute Jakarta-Bali yang medannya cukup berat. Rombongan berangkat pada 28 November 2007 dari Jakarta dan tiba di Bali 1 Desember 2007.

Selain Toyota Prius yang menjadi bintang sepanjang perjalanan, perjalanan lebih dari 1.000 kilometer (km) itu juga diikuti Toyota Vios, Toyota Fortuner Diesel, Toyota Avanza tipe S, Toyota Yaris, Daihatsu Xenia, Daihatsu Grand Max, Daihatsu Sirion, Nissan Grand Livina, Isuzu D-Max, Toyota Inova, dan Suzuki Grand Vitara. Mobil-mobil tersebut telah memenuhi standar emisi Euro-2 itu secara umum terbukti cukup hemat dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM), rata-rata di atas 10 km per liter. Bahkan, beberapa mobil dengan kapasitas mesin 1.5 Liter mampu mencatat 17 km per liter.

Toyota Prius, yang dari hasil pengujian di Jepang mampu mencatat 35 km per liter dan pada uji coba di Jakarta masih mampu menorehkan 30 km per liter, dalam perjalanan ke Bali membuat catatan baru yang agak di luar perkiraan banyak pihak, yaitu rata-rata hanya 22-23 km per liter. Bagi mobil hibrida seperti Prius, perjalanan Jakarta-Bali memang mengandung risiko yang tidak ringan, antara lain langkanya stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang memiliki pertamax plus, risiko jalan tergenang air jika turun hujan yang sangat "berbahaya" bagi Prius yang serba elektronik dan berkomputerisasi, serta kondisi jalan yang tidak ramah untuk mobil-mobil sekelas sedan. Akan tetapi, terbukti semua tantangan itu bisa dilalui.

Tantangan medan

Sebagai sebuah produk hasil pengembangan termutakhir, catatan prestasi Prius menjalani rute Jakarta-Bali itu memang secara umum masih di atas mobil-mobil nonhibrida. Namun, jika dibandingkan dengan "harapan awalnya" untuk menghasilkan mobil yang jauh lebih irit dari mobil-mobil konvensional, catatan Prius itu perlu dipelajari dengan lebih mendalam. Sayang, Honda Civic Hybrid yang diharapkan ikut serta membatalkan keikutsertaannya. Akibatnya, Prius tidak memiliki pembanding.

Pada prinsipnya Prius mengandalkan motor listrik yang mendapatkan tenaga dari baterai sebagai penggerak utama. Mesin pembakaran dalam yang mengandalkan pertamax plus sebagai bahan bakar hanya akan hidup dan membantu motor listrik jika Prius berakselerasi atau menanjak. Bahkan, jika diperlukan, tenaga listrik tambahan dari baterai akan memperkuat motor listrik. Peralihan antara kedua sistem penggerak itu diatur sedemikian rupa oleh komputer sehingga ketika dikendarai tidak terasa sama sekali adanya jeda pada peralihan sumber penggerak itu.

Dalam perjalanan Jakarta-Bali, tampak sekali bagaimana medan jalan yang berkelok-kelok dan naik turun memaksa Prius lebih banyak menggunakan mesin bensin ketimbang motor listrik. Apalagi dengan kecepatan tim road show yang rata-rata di atas 60 km per jam. Sebaliknya, bagi mobil-mobil nonhibrida, perjalanan Jakarta-Bali yang relatif "bebas macet" karena menggunakan mobil polisi sebagai voorrijder, memungkinkan kendaraan melaju dengan kecepatan konstan sehingga konsumsi BBM lebih irit. Konsumsi BBM Yaris, Vios, dan Grand Livina rata-rata di atas 15 km per liter. Itu membuktikan bahwa tingkat kelancaran di jalan berkorelasi sangat besar dengan konsumsi BBM kendaraan.

Rekayasa jalan

Catatan berharga dari perjalanan Prius melalui rute Jakarta-Bali itu adalah peningkatan dan pembaruan terus-menerus dalam hal teknologi kendaraan saja tidaklah cukup untuk mencapai impian kita akan hadirnya mobil yang sangat irit BBM. Perbedaan mencolok antara catatan pengujian di Jepang dan Indonesia itu menegaskan perlunya pengembangan teknologi kendaraan bermotor itu juga didukung oleh pengembangan rekayasa jalan raya, yang lebih kondusif bagi kendaraan sehingga bisa lebih hemat BBM. Artinya, pembangunan jalan-jalan baru tidak bisa sekadar mengacu pada biaya pembuatannya yang lebih murah.

Berbeda dengan masa penjajahan Belanda dulu yang membuat sebagian besar sarana jalan dengan mengikuti kontur lahan yang ada karena masih terbatasnya kemampuan manusia saat itu, pada saat ini teknologi rekayasa jalan sudah maju sangat pesat dan didukung oleh berbagai peralatan yang banyak mempermudah pengerjaannya. Dengan demikian, para perekayasa jalan Indonesia sudah seharusnya bukan hanya mempertimbangkan biaya yang lebih efisien untuk pembangunan suatu jalan, tetapi juga penghematan yang bisa dihasilkan dari semakin efisiensinya konsumsi bahan bakar pada kendaraan-kendaraan yang menggunakan jalan itu.

Jika dihitung dalam skala ekonomi yang lebih besar, penghematan 5 sampai 10 liter BBM per kendaraan dari Jakarta menuju Bandung melalui jalan tol pada hari kerja dibandingkan dengan rute yang sama dengan melalui jalur Puncak atau Jonggol, menghasilkan penghematan yang besar. Hal itu tidak hanya mengurangi volume BBM yang harus dibeli si pengguna kendaraan, tetapi juga volume BBM yang harus dipasok pemerintah, subsidi untuk BBM premium itu, dan yang lebih penting adalah pengurangan emisi karbon dioksida yang dilepas ke udara. Jadi, sesungguhnya masih ada banyak cara lain untuk lebih menghemat penggunaan BBM dalam jangka panjang, selain terus mencari terobosan teknologi penghemat BBM untuk berbagai jenis kendaraan.

Mitos di Balik Oktan

Pemerintah berencana membatasi distribusi bensin Premium oktan 88 dengan bensin beroktan 90 yang harganya lebih mahal sebagai langkah mencabut subsidi bahan bakar minyak. Terlepas dari rencana itu, apa sebenarnya perbedaan Premium oktan 88 dengan bensin beroktan di atasnya? Mobil-mobil yang diproduksi tahun 1990-an ke atas mensyaratkan penggunaan bensin dengan bilangan oktan 90 ke atas. Di Indonesia, ada dua jenis bensin beroktan 90, yaitu bensin oktan 92 dan oktan 95.

Bensin oktan 92 dikenal dengan nama Pertamax (produksi Pertamina), Super (produksi Shell), dan Primax (produksi Petronas). Sedangkan bensin oktan 95 biasa disebut Pertamax Plus (Pertamina), Super Extra (Shell), dan Primax95 (Petronas). Adapun bensin Premium yang dipakai sebagian besar pengguna
kendaraan bermotor di Indonesia adalah bensin dengan kadar oktan 88.

Oktan adalah angka yang menunjukkan berapa besar tekanan maksimum yang bisa diberikan di dalam mesin sebelum bensin terbakar secara spontan. Di dalam mesin, campuran bensin dan udara (berbentuk gas) bisa terbakar sendiri secara spontan sebelum terkena percikan api dari busi. "Jadi, semakin tinggi angka oktannya, semakin lama bensin itu terbakar spontan," kata Kepala Program Studi Teknik Otomotif Politeknik Manufaktur Astra Jakarta Hutabarat.

Pembakaran spontan ini menimbulkan ketukan di dalam mesin yang biasa disebut gejala ngelitik atau knocking. Pembakaran spontan ini sebisa mungkin dihindari dengan angka oktan yang tinggi.

Sesuai ketentuan
Ketika harga Pertamax semakin tinggi, banyak orang lalu beralih ke Premium padahal mobil yang digunakan memiliki spesifikasi bensin beroktan tinggi. Menurut Hutabarat, pemakaian bensin yang kadar oktannya tidak sesuai akan menyebabkan mesin menjadi ngelitik. Ngelitik terjadi karena bensin lebih cepat terbakar secara spontan sehingga tenaga untuk menggerakkan mesin serta beban kendaraan lebih kecil dari yang dibutuhkan. Sistem pemeringkatan oktan (octane rating) adalah ukuran seberapa besar suatu jenis bensin bisa mencegah terjadinya ngelitik pada mesin.

Menurut Dikwan Irawan, mekanik berpengalaman dan pemilik bengkel Ditech Injection di Bandung, Jawa Barat, para pengguna mobil hendaknya selalu menggunakan oktan yang telah direkomendasikan pabrik. "Biasanya angka oktan rekomendasi pabrik ini dicantumkan dalam buku manual maupun di dekat tutup tangki bensin mobil," paparnya.

Berkaitan dengan rencana pemerintah untuk mendorong pengguna mobil pribadi memakai Premium oktan 90, Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Freddy Sutrisno mengatakan, rata-rata mobil keluaran terbaru memang sudah mensyaratkan pemakaian bensin beroktan tinggi. "Dianjurkan untuk selalu mematuhi persyaratan oktan yangdiberikan pabrik. Kalau tidak bisa berisiko membatalkan garansi," ungkap Freddy.

Mohammad Arief Adrianto, Redaktur Pelaksana Majalah Otomotif, menambahkan, pemakaian bensin oktan di atas 90 memang bisa menambah tenaga. Tetapi, itu hanya berlaku pada mobil-mobil yang memang memiliki spesifikasi bahan bakar oktan tinggi. Untuk mobil yang dibuat tahun 1980-an, pemakaian Premium saja sudah cukup karena tidak akan menambah performa mobil.

Kadar oktan dalam bensin juga sering dikait-kaitkan dengan soal ramah lingkungan. Menurut Dikwan, faktor ramah lingkungan pada bensin ditentukan oleh ada tidaknya kandungan timbal (tetraethyl lead/TEL) dalam bensin. Saat ini, semua produk bensin oktan di atas 90 sudah tidak mengandung timbal. Bahkan di Jabodetabek dan Jawa Barat, Premium yang dijual di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) tidak lagi mengandung timbal.

Bensin beroktan tinggi pada mobil yang memiliki spesifikasi oktan di atas 90 membuat konsumsi bahan bakar lebih irit. Ini disebabkan bensin lebih lama terbakar sehingga mesin bisa efisien. "Dengan sedikit bahan bakar, bisa menghasilkan tenaga yang banyak," kata Arief.

Takwa Suryo Swasono, mekanik andalan dari bengkel Garden Speed di Cilandak, Jakarta Selatan, menambahkan, pemakaian bensin oktan tinggi yang tidak sesuai dengan spesifikasi mesin mobil hanya akan menyebabkan pemborosan. "Mobil kondisi standar yang diisi bahan bakar mobil balap beroktan 115, misalnya, justru akan turun tenaganya," ungkap Takwa.

Pengukuran oktan
Pengukuran angka oktan dilakukan dengan membandingkan kemampuan mencegah ngelitik antara suatu jenis bensin dengan campuran kimia antara senyawa isooktan dan n-heptan. Bensin beroktan 88, misalnya, berarti memiliki kemampuan mencegah ngelitik sama dengan campuran yang terdiri atas 88 persen isooktan dan 12 persen n-heptane.

Ada dua kategori angka oktan ini, yakni RON (research octane number) dan MON (motor octane number). RON diperoleh dari simulasi kinerja bahan bakar saat mesin dioperasikan dalam kondisi standar, sementara MON menunjukkan kinerja bahan bakar saat mesin dioperasikan dalam kondisi lebih berat. Angka oktan MON bisa 10 poin lebih rendah dibandingkan angka oktan RON. Angka oktan yang kita lihat di belakang nama produk bensin di SPBU adalah RON. Pengecualian di pasar Amerika Serikat, angka yang tertera di SPBU adalah nilai rata-rata dari RON dan MON, sehingga lebih rendah dibandingkan oktan yang tertera di negara-negara lain.